Menakar Politik Pencitraan dalam
Meraih Simpati Publik
Oleh.
Ninuk Riswandari. S.Sos. M.Si
Penulis
adalah Dosen Komunikasi
Sungguh tidak bisa
dibantah, bahwa pesta demokrasi rakyat akan mencapai puncaknya pada pemilihan
umum (pemilu) presiden 2014. Aneka ragam rentetan penyelenggaraan Pemilihan
Kepala Daerah yang masih akan berlanjut pada pemilihan calon legislatif pada
bulan April 2014 mendatang, puncak pesta demokrasi rakyat akan berakhir pada pemilihan
presiden yang akan digelar pada bulan
Juli 2014. ( baca UU KPU)
Seiring dengan
berjalannya waktu mendekati agenda pemilihan presiden 2014, semakin marak pula
munculnya beberapa nama calon Presiden dan wakil Presiden baik independent
maupun yang diusung oleh partai politik dalam bursa calon presiden. Beberapa
partai telah mengumumkan calon presiden secara resmi. Antara lain, Partai
Golkar yang mengusung Aburizal Bakrie dan Partai Gerindra yang mengusung
Prabowo Subianto. Yang terbaru adalah Partai Hanura yang mengumumkan calon
presiden dan calon wakil presidennya Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo.
Deklarasi telah
dilakukan oleh partai politik tersebut di atas, tentunya akan dibarengi
berbagai upaya-upaya untuk sosialisasi dan pencitraan terhadap para calon tersebut.
Media merupakan alat utama yang
dipercaya mampu mengemban misi dan menampilkan citra sosok kontestan calon
presiden dan calon wakil presiden . Begitu pula dengan program kerja yang
begitu mempesona dan mendahulukan kepentingan rakyat. Mengurangi kemiskinan dan
mensejahterakan rakyat menjadi jurus ampuh bagi kontestan agar rakyat semakin
terlena dan terpesona akan program
tersebut. Dan pada gilirannya, masyarakat akan memilih para kontestan itu.
Kiranya media sudah
menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat saat ini dan memiliki andil cukup besar
dalam mensukseskan pencitraan seorang tokoh. Sebagai media pandang dengar,
televisi merupakan media yang paling efektif dalam mempengaruhi publik
pemirsanya. Hal inilah yang dijadikan pijakan oleh para calon presiden yang
sudah mendeklarasikan dirinya. Seperti kita tahu
bahwa sudah muncul beberapa iklan para calon presiden dan wakil presiden dilayar
televisi.
Tak bisa dibantah,
melalui iklan para aktor politik ingin mengkomunikasikan kepada masyarakat luas
mengenai berbagai program yang dimilikinya. Iklan inilah yang menjadi bentuk
komunikasi politik para aktor politik melalui media (Mcnair:2003). Untuk
merebut hati masyarakat, iklan dikemas dengan berbagai simbol untuk
menggambarkan kedekatan dan keberpihakan para calon presiden terhadap
permasalahan yang ada di masyarakat. Simbol-simbol diciptakan, dan masyarakat
secara bertahap mempelajari emosi-emosi spesifik seperti cinta atau benci
melalui simbol tersebut. Ketika penanaman simbol tersebut berhasil maka
terciptalah apa yang disebut Laswell sebagai “simbol utama atau simbol
kolektif”, yakni simbol yang dipadukan dengan emosi yang kuat dan memiliki
kekuatan untuk menstimuli tindakan massa dalam skala luas ( Baran & Davis:
2010). Meningkatnya popularitas dan elektabilitas kandidat calon presiden
inilah yang diharapkan.
Media menjadi
instrumen efektif dalam penciptaan citra
dan mitos aktor politik. Dalam iklan calon presiden, ditampilkannya calon presiden berpelukan dengan pedagang di
pasar dan juga warga merupakan gambaran bahwa calon presiden merakyat, dekat
dengan rakyat kecil yang berada di bawah. Berdialog dengan para siswa,
berdialog dengan para pedagang kaki lima menjelaskan bahwa calon presiden
peduli dengan pendidikan dan generasi muda serta memahami permasalahan dan kesulitan
para pedagang kaki lima. Pada saat menampilkan iklan ucapan selamat hari raya,
menggambarkan bahwa calon presiden juga memiliki ketaatan beragama dan juga
penghormatan terhadap para pemeluk agama. Gambaran yang diciptakan oleh iklan
media telivisi tersebut menjelaskan semua hal yang diperlukan oleh rakyat dari
seorang pemimpin. Berbagai permasalahan yang telah membelit rakyat selama ini
dapat diselesaikan dengan program-program yang ditawarkan calon pemimpin yang
beriklan tersebut. konsekuensinya adalah dengan menjatuhkan pilihan rakyat
kepada pemimpin yang bersangkutan.
Eric Louw
memberikan pandangan dalam realitas komunikasi politik, bahwa terdapat tiga
dimensi dalam proses politik, yakni kebijakan, manajemen proses (politik) dan hype
(sesuatu yang berkaitan dengan citra). Melalui konsepsi hype inilah kita
dapat mengamati kecenderungan media untuk mendramatisasi kejadian di wilayah
politik. Dimensi hype menyatukan berbagai konsep yaitu: propaganda,
budaya popular dan imaji (Adiputra: 2010). Gambaran yang ada pada sebuah iklan,
tidak selalu dapat dibuktikan dalam dunia nyata. Pengetahuan yang diperoleh
dari iklan hanyalah realitas yang dibentuk oleh para pembuat iklan.
Pikiran-pikiran publik pemirsa televisi terhadap produk yang diiklankan (calon
presiden) diarahkan pada gambaran tentang citra seperti yang diinginkan oleh
pengiklan. Disinilah bukti kekuatan media untuk mengkonstruksi teather of
mind (pikiran manusia). Sehingga ketika televisi dimatikan maka
penggambaran tentang realitas itu tetap hidup dalam pikiran pemirsa. Khalayak
pemirsa dijebak dalam suatu ruang yang disadarinya sebagai sesuatu yang nyata,
meskipun sesungguhnya semu, maya atau khayalan belaka. Hal inilah yang disebut
sebagai hiper reality (Bungin: 2008).
Realitas itulah
yang disuguhkan oleh kontestan politik kandidat Presiden dan calon presiden
melalui media utamanya media televisi. Performa yang ditampilkan dalam politik
pencitraan seolah menegaskan bahwa keperdulian dan keberpihakan kepada
masyarakat kecil seolah menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan.
Pencitraan yang dilakukan seolah menjadi takdir politik yang harus dilakukan
manakala nanti terpilih.
Meminjam istilah Berger
dan Luckmann bahwa konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun
sarat dengan kepentingan-kepentingan. Realitas yang dikonstruksi dalam iklan
para kandidat calon presiden seperti yang dijelaskan di atas, semata-mata sebagai usaha untuk dapat memenangkan
pemilihan umum 2014 mendatang. Konstruksi yang ditampilkan bagi calon presiden
dan calon wakil presiden menampilkan bahwa dirinya adalah kandidat yang memihak
masyarakat kecil, calon yang perduli dan anti korupsi. Maka akan menjadi
paradoksalitas manakala slogan dan pencitraan itu tidak berbanding lurus dengan
perilaku sosial politik para kandidat itu dalam kehidupan sehari. Biarlah
rakyat yang menulis dan mencatat dalam lembar sejarah dan pena politik akan
janji itu.[] semoga