Go to Yudharta Seminar Akrab Banget Ninuk and Frend in Pose Senyum Pepsodent Piss Men ....!!!

Minggu, 20 Oktober 2013

Menakar Politik Pencitraan dalam Meraih Simpati Publik



Menakar Politik Pencitraan dalam Meraih Simpati Publik
Oleh. Ninuk Riswandari. S.Sos. M.Si
Penulis adalah Dosen Komunikasi 



Sungguh tidak bisa dibantah, bahwa pesta demokrasi rakyat akan mencapai puncaknya pada pemilihan umum (pemilu) presiden 2014. Aneka ragam rentetan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang masih akan berlanjut pada pemilihan calon legislatif pada bulan April 2014 mendatang, puncak pesta demokrasi rakyat akan berakhir pada pemilihan presiden yang  akan digelar pada bulan Juli 2014. ( baca UU KPU)

Seiring dengan berjalannya waktu mendekati agenda pemilihan presiden 2014, semakin marak pula munculnya beberapa nama calon Presiden dan wakil Presiden baik independent maupun yang diusung oleh partai politik dalam bursa calon presiden. Beberapa partai telah mengumumkan calon presiden secara resmi. Antara lain, Partai Golkar yang mengusung Aburizal Bakrie dan Partai Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto.  Yang terbaru adalah Partai Hanura yang mengumumkan calon presiden dan calon wakil presidennya Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo.

Deklarasi telah dilakukan oleh partai politik tersebut di atas, tentunya akan dibarengi berbagai upaya-upaya untuk sosialisasi dan pencitraan terhadap para calon tersebut.  Media merupakan alat utama yang dipercaya mampu  mengemban misi  dan menampilkan citra sosok kontestan calon presiden dan calon wakil presiden . Begitu pula dengan program kerja yang begitu mempesona dan mendahulukan kepentingan rakyat. Mengurangi kemiskinan dan mensejahterakan rakyat menjadi jurus ampuh bagi kontestan agar rakyat semakin terlena dan terpesona  akan program tersebut. Dan pada gilirannya, masyarakat akan memilih para kontestan itu.

Kiranya media sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat saat ini dan memiliki andil cukup besar dalam mensukseskan pencitraan seorang tokoh. Sebagai media pandang dengar, televisi merupakan media yang paling efektif dalam mempengaruhi publik pemirsanya. Hal inilah yang dijadikan pijakan oleh para calon presiden yang sudah mendeklarasikan dirinya. Seperti kita tahu bahwa sudah muncul beberapa iklan para calon presiden dan wakil presiden dilayar televisi.

Tak bisa dibantah, melalui iklan para aktor politik ingin mengkomunikasikan kepada masyarakat luas mengenai berbagai program yang dimilikinya. Iklan inilah yang menjadi bentuk komunikasi politik para aktor politik melalui media (Mcnair:2003). Untuk merebut hati masyarakat, iklan dikemas dengan berbagai simbol untuk menggambarkan kedekatan dan keberpihakan para calon presiden terhadap permasalahan yang ada di masyarakat. Simbol-simbol diciptakan, dan masyarakat secara bertahap mempelajari emosi-emosi spesifik seperti cinta atau benci melalui simbol tersebut. Ketika penanaman simbol tersebut berhasil maka terciptalah apa yang disebut Laswell sebagai “simbol utama atau simbol kolektif”, yakni simbol yang dipadukan dengan emosi yang kuat dan memiliki kekuatan untuk menstimuli tindakan massa dalam skala luas ( Baran & Davis: 2010). Meningkatnya popularitas dan elektabilitas kandidat calon presiden inilah yang diharapkan.

Media menjadi instrumen efektif  dalam penciptaan citra dan mitos aktor politik. Dalam iklan calon presiden, ditampilkannya  calon presiden berpelukan dengan pedagang di pasar dan juga warga merupakan gambaran bahwa calon presiden merakyat, dekat dengan rakyat kecil yang berada di bawah. Berdialog dengan para siswa, berdialog dengan para pedagang kaki lima menjelaskan bahwa calon presiden peduli dengan pendidikan dan generasi muda serta memahami permasalahan dan kesulitan para pedagang kaki lima. Pada saat menampilkan iklan ucapan selamat hari raya, menggambarkan bahwa calon presiden juga memiliki ketaatan beragama dan juga penghormatan terhadap para pemeluk agama. Gambaran yang diciptakan oleh iklan media telivisi tersebut menjelaskan semua hal yang diperlukan oleh rakyat dari seorang pemimpin. Berbagai permasalahan yang telah membelit rakyat selama ini dapat diselesaikan dengan program-program yang ditawarkan calon pemimpin yang beriklan tersebut. konsekuensinya adalah dengan menjatuhkan pilihan rakyat kepada pemimpin yang bersangkutan.

Eric Louw memberikan pandangan dalam realitas komunikasi politik, bahwa terdapat tiga dimensi dalam proses politik, yakni kebijakan, manajemen proses (politik) dan hype (sesuatu yang berkaitan dengan citra). Melalui konsepsi hype inilah kita dapat mengamati kecenderungan media untuk mendramatisasi kejadian di wilayah politik. Dimensi hype menyatukan berbagai konsep yaitu: propaganda, budaya popular dan imaji (Adiputra: 2010). Gambaran yang ada pada sebuah iklan, tidak selalu dapat dibuktikan dalam dunia nyata. Pengetahuan yang diperoleh dari iklan hanyalah realitas yang dibentuk oleh para pembuat iklan. Pikiran-pikiran publik pemirsa televisi terhadap produk yang diiklankan (calon presiden) diarahkan pada gambaran tentang citra seperti yang diinginkan oleh pengiklan. Disinilah bukti kekuatan media untuk mengkonstruksi teather of mind (pikiran manusia). Sehingga ketika televisi dimatikan maka penggambaran tentang realitas itu tetap hidup dalam pikiran pemirsa. Khalayak pemirsa dijebak dalam suatu ruang yang disadarinya sebagai sesuatu yang nyata, meskipun sesungguhnya semu, maya atau khayalan belaka. Hal inilah yang disebut sebagai hiper reality (Bungin: 2008).

Realitas itulah yang disuguhkan oleh kontestan politik kandidat Presiden dan calon presiden melalui media utamanya media televisi. Performa yang ditampilkan dalam politik pencitraan seolah menegaskan bahwa keperdulian dan keberpihakan kepada masyarakat kecil seolah menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Pencitraan yang dilakukan seolah menjadi takdir politik yang harus dilakukan manakala nanti terpilih.

Meminjam istilah Berger dan Luckmann bahwa konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Realitas yang dikonstruksi dalam iklan para kandidat calon presiden seperti yang dijelaskan di atas, semata-mata  sebagai usaha untuk dapat memenangkan pemilihan umum 2014 mendatang. Konstruksi yang ditampilkan bagi calon presiden dan calon wakil presiden menampilkan bahwa dirinya adalah kandidat yang memihak masyarakat kecil, calon yang perduli dan anti korupsi. Maka akan menjadi paradoksalitas manakala slogan dan pencitraan itu tidak berbanding lurus dengan perilaku sosial politik para kandidat itu dalam kehidupan sehari. Biarlah rakyat yang menulis dan mencatat dalam lembar sejarah dan pena politik akan janji itu.[] semoga